Sejarah awal pergerakan Perempuan
Saat bangsa ini terus merintis kemajuannya demi meningkatkan martabat
di mata bangsa lain, kepingan sejarah yang diciptakan oleh orang-orang
berani dan bermisi kuat pun terus bertambah. Jika kita mau menelurusi
kepingan-kepingan sejarah tersebut, maka jangan terkejut jika kita
banyak menemukan peran wanita di dalamnya.
Tahun 2008 ini kita memperingati seratus tahun kebangkitan Nasional
tahun 1908. Dalam seratus tahun perjalanan sejarah bangsa kita, kiprah
perempuan Indonesia yang mengambil bagian dalam memajukan berbagai
bidang kehidupan tidak bisa dilupakan begitu saja. Perempuan adalah
bagian yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan
masyarakat. Pada saat krisis perekonomian, perempuanlah yang paling
merasakan akibat dari krisis tersebut. Namun dalam keadaan yang kritis,
tak jarang pula perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan
menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi
perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga hingga meluas ke
perekonomian masyarakat.
Dilihat dari lembaran sejarah perjuangan bangsa, gerakan kebangkitan
nasional berawal dari politik etis Hindia-Belanda yang memberi
kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mengecap pendidikan di sekolah.
Sebenarnya maksud dari politik pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk
menghasilkan pekerja seperti buruh-buruh yang terdidik, guru-guru,
birokrat rendahan, serta dokter-dokter yang bisa menangani penyakit kaum
pribumi. Dengan demikian mereka bisa menekan biaya operasional tanah
jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor
dari Belanda. Namun ternyata politik ini memberi manfaat tersendiri bagi
pemuda Indonesia. Pencerahan dalam dunia pendidikan yang mereka
dapatkan menuntut jiwa muda mereka untuk mulai bergerak memperjuangkan
kebangkitan bangsa ini untuk menuju kemerdekaan nantinya. Hingga tahun
1908 berdirilah organisasi Budi Utomo yang menjadi titik kebangkitan
nasional. Sebenarnya jauh sebelum Budi Utomo dikukuhkan, telah lahir
nama-nama pejuang perempuan yang ikut berperan dalam memperjuangkan
kemerdekaan.
Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan Laksamana
Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh
diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah
(1604-1607), dan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke
Admiral Malahayati karangan Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan
memimpin armada yang terdiri atas 2.000 prajurit perempuan. Selain
Malahayati, kita kenal juga Martha Christina Tiahahu (1801-1818), Cut
Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan anaknya, Cut
Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang wanita
di sana.
Memasuki era perjuangan perempuan tanpa senjata, lahirlah seorang
pejuang perempuan bernama R.A. Kartini (1879-1904) yang berjuang dalam
memajukan pendidikan bagi kaum perempuan. Beliau menggugah kesadaran
masyarakat pada saat itu dengan mengganti pola pikir keliru yang
menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu mengecap pendidikan, dengan pola
pikir kemajuan yang menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan
pendidikan di sekolah. Tidak hanya si Sekolah Rendah, melainkan harus
dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, seperti halnya kaum
laki-laki.
Tentu saja, tidak hanya Kartini yang berjuang dalam meningkatkan
taraf hidup kaum perempuan. Ada banyak perempuan yang tersebar di
Nusantara yang juga menjadi pejuang kaum perempuan untuk menjadi lebih
baik dan maju. Sejarah mencatat beberapa nama seperti Rohana Kudus yang
menaikkan nama perempuan di kalangan jurnalis Indonesia, Rasuna Said
yang menjadi perempuan pertama yang ditangkap kemudian dipenjara karena
pidatonya yang mengecam tajam ketidakadilan pemerintah Belanda pada
tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga Ny. Dahlan yang membangun
kajian ta’lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di kawasan
pondok-pondok.
Untuk mewujudkan cita-cita peningkatan kualitas pendidikan di
kalangan perempuan, maka kekuatan masapun dirasa perlu. Oleh karena itu
pejuang perempuan pada masa itu membentuk suatu organisasi perempuan
yang akan mewadahi cita-cita mereka. Berawal dari Putri Mardika, sebuah
organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912,
organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai
daerah. Menjamurnya organisasi perempuan di negeri ini memunculkan
gagasan untuk menyatukan pikiran dalam sebuah pertemuan akbar, dan
dengan usaha kuat di tengah-tengah masa jajahan akhirnya berhasil
diadakan Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama pada
tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana hampir 30 organisasi
perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi
pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang
bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun
berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri
Indonesia).
Dari untaian sejarah yang mengagumkan, dapat kita simpulkan bahwa
sesungguhnya Nusantara yang luas seakan sempit ketika perjuangan tak
mengenal batas. Di masa jajahan penuh kekangan ditambah dengan teknologi
komunikasi yang jauh lebih sederhana dari sekarang ini, pejuang
perempuan pada masa itu bisa dengan sukses mengumpulkan puluhan
organisasi perempuan yang tersebar di Nusantara dalam satu kongres
besar. Ternyata benar adanya, pejuang dan pemimpin yang lahir dari zona
‘tidak aman’ akan tumbuh kuat dan tangguh.
Pencapaian hingga saat ini
Dari usaha keras antar generasi yang dilakukan oleh pejuang terdahulu, banyak sekali manfaat yang bisa kita rasakan saat ini.
Pada 1947, Maria Ulfah menjadi menteri wanita pertama saat dipercaya
sebagai Menteri Sosial. Sementara itu, angka keterwakilan perempuan di
kursi legislatif, walau perlahan, mengalami kenaikan dari waktu ke
waktu. Dari hanya 9 orang (3,8 persen dari semua anggota) pada
1950-1955, saat ini menjadi 45 orang (9 persen).
Di dunia pendidikan, perempuan pun telah mendapatkan hak yang sama
dengan laki-laki. Tidak hanya di tingkat SD dan SMP, di kampus-kampus
jumlah mahasiswa perempuan juga tidak kalah dengan jumlah mahasiswa yang
laki-laki. Hal lain yang patut disyukuri adalah Munculnya
kelompok-kelompok kajian Islam perempuan, yang justru menjamur di
kampus-kampus negeri.
Tantangan pergerakan
Pergerakan perempuan yang berjalan dari masa ke masa tentu tidak
berhenti sampai di sini saja. Seiring kemajuan bangsa, tantangan
pergerakan juga akan terus hadir. Bahkan untuk kualitas pendidikan,
sampai saat ini kita masih harus berjuang untuk menyetarakannya dengan
negara-negara lain yang lebih berkembang. Untuk kasus kaum perempuan
sendiri, di kalangan Ibu-Ibu masa kini bahkan masih perlu diberikan
pencerdasan yang benar sesuai dengan aqidah Islam. Saat ini banyak
sekali kaum Ibu yang bangga melihat anaknya mengumbar aurat di muka
umum, asal terkenal dan berpenghasilan tinggi dianggap sudah sangat
membanggakan. Hal-hal seperti inilah yang harus diluruskan. Emansipasi
boleh, tapi jangan disamakan dengan gaya barat, karena emansipasi kita
jelas berbeda dengan emansipasi gaya barat, emansipasi kita harus
melihat kembali kepada Fiqh Islam.
Terakhir, tantangan dalam karya. Karena perjuangan dalam karya adalah
investasi pengetahuan untuk generasi mendatang. Sama seperti pejuang
terdahulu, kita tentu menginginkan perjuangan kita saat ini bisa
dilanjutkan oleh anak cucu kita nanti. Banyak sekali pejuang perempuan
pada masa lampau yang ikut berjuang mulai dari memajukan martabat
perempuan hingga berjuang merebut kemerdekaan, namun mengapa seolah-olah
hanya ada Kartini saja, mengapa nama beliau begitu besar dan harum di
kalangan aktivis perempuan dari masa ke masa? Jawabannya adalah karena
Kartini meningalkan karya sehingga bisa dinikmati sampai kapanpun oleh
generasi penerus, sehingga sejarah pun akan mengenangnya bersama
karya-karya itu sebagai bukti sejarah yang ditinggalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar