BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Saat bangsa ini
terus merintis kemajuannya demi meningkatkan martabat di mata bangsa lain,
kepingan sejarah yang diciptakan oleh orang-orang berani dan bermisi kuat pun
terus bertambah. Jika kita mau menelurusi kepingan-kepingan sejarah tersebut,
maka jangan terkejut jika kita banyak menemukan peran wanita di dalamnya.
Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, kiprah perempuan
Indonesia yang mengambil bagian dalam memajukan berbagai bidang kehidupan tidak
bisa dilupakan begitu saja. Perempuan adalah bagian yang berhubungan sangat
erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Pada saat krisis perekonomian,
perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Namun dalam
keadaan yang kritis, tak jarang pula perempuan lebih mempunyai inisiatif,
bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi
perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga hingga meluas ke perekonomian
masyarakat.
Dilihat dari lembaran sejarah perjuangan bangsa, gerakan
kebangkitan nasional berawal dari politik etis Hindia-Belanda yang memberi
kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mengecap pendidikan di sekolah.
Sebenarnya maksud dari politik pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk
menghasilkan pekerja seperti buruh-buruh yang terdidik, guru-guru, birokrat
rendahan, serta dokter-dokter yang bisa menangani penyakit kaum pribumi. Dengan
demikian mereka bisa menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang
terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. Namun ternyata
politik ini memberi manfaat tersendiri bagi pemuda Indonesia. Pencerahan dalam
dunia pendidikan yang mereka dapatkan menuntut jiwa muda mereka untuk mulai
bergerak memperjuangkan kebangkitan bangsa ini untuk menuju kemerdekaan
nantinya. Hingga tahun 1908 berdirilah organisasi Budi Utomo yang menjadi titik
kebangkitan nasional. Sebenarnya jauh sebelum Budi Utomo dikukuhkan, telah
lahir nama-nama pejuang perempuan yang ikut berperan dalam memperjuangkan
kemerdekaan.
Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan
Laksamana Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh
diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607),
dan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan
Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan memimpin armada yang terdiri atas
2.000 prajurit perempuan. Selain Malahayati, kita kenal juga Martha Christina
Tiahahu (1801-1818), Cut Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan
anaknya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang
wanita di sana.
Memasuki era perjuangan perempuan tanpa senjata, lahirlah
seorang pejuang perempuan bernama R.A. Kartini (1879-1904) yang berjuang dalam
memajukan pendidikan bagi kaum perempuan. Beliau menggugah kesadaran masyarakat
pada saat itu dengan mengganti pola pikir keliru yang menyebutkan bahwa
perempuan tidak perlu mengecap pendidikan, dengan pola pikir kemajuan yang
menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan pendidikan di sekolah. Tidak hanya
si Sekolah Rendah, melainkan harus dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi, seperti halnya kaum laki-laki.
Tentu saja, tidak hanya Kartini yang berjuang dalam
meningkatkan taraf hidup kaum perempuan. Ada banyak perempuan yang tersebar di
Nusantara yang juga menjadi pejuang kaum perempuan untuk menjadi lebih baik dan
maju. Sejarah mencatat beberapa nama seperti Rohana Kudus yang menaikkan nama
perempuan di kalangan jurnalis Indonesia, Rasuna Said yang menjadi perempuan
pertama yang ditangkap kemudian dipenjara karena pidatonya yang mengecam tajam
ketidakadilan pemerintah Belanda pada tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga
Ny. Dahlan yang membangun kajian ta’lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di
kawasan pondok-pondok.
Untuk mewujudkan cita-cita peningkatan kualitas
pendidikan di kalangan perempuan, maka kekuatan masapun dirasa perlu. Oleh
karena itu pejuang perempuan pada masa itu membentuk suatu organisasi perempuan
yang akan mewadahi cita-cita mereka. Berawal dari Putri Mardika, sebuah
organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912,
organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai daerah.
Menjamurnya organisasi perempuan di negeri ini memunculkan gagasan untuk
menyatukan pikiran dalam sebuah pertemuan akbar, dan dengan usaha kuat di
tengah-tengah masa jajahan akhirnya berhasil diadakan Kongres Perempuan
Indonesia tingkat nasional pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta,
dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar
yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi
organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun
berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).
Dari untaian sejarah yang mengagumkan, dapat kita
simpulkan bahwa sesungguhnya Nusantara yang luas seakan sempit ketika
perjuangan tak mengenal batas. Di masa jajahan penuh kekangan ditambah dengan
teknologi komunikasi yang jauh lebih sederhana dari sekarang ini, pejuang
perempuan pada masa itu bisa dengan sukses mengumpulkan puluhan organisasi
perempuan yang tersebar di Nusantara dalam satu kongres besar. Ternyata benar
adanya, pejuang dan pemimpin yang lahir dari zona ‘tidak aman’ akan tumbuh kuat
dan tangguh.
Timbulnya pergerakan wanita
merupakan realisasi dari cita-cita Kartini yang memperjuangkan perbaikan
kedudukan social wanita. Pada awal pergerakan wanita soal-soal politik belum
menjadi perhatiannya, sedangkan yang mendesak untuk dipecahkan bagi mereka adalah
perbaikan dalam hidup keluarga, perkawinan, dan mempertinggi kecakapan sebagai
seorang wanita.
Awalnya Kartini hanya memperjuangkan
derajat wanita agar sejajar dengan laki-laki. Wanita pada saat itu memang hanya
berperan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di dapur, sumur dan kasur.
Wanita tidak boleh mengenyam pendidikan seperti yang dapat dinikmati oleh
laki-laki. Sehingga wanita sangat tertinggal jauh dari laki-laki dalam
pendidikan dan wawasan. Akhirnya timbul tekad Kartini untuk memperjuangkan
hak-hak wanita agar mampu menyamakan derajatnya dengan laki-laki.
Setelah perjuangan Kartini yang
membuka sekolah untuk perempuan, perjuangannya diteruskan oleh Dewi Sartika
yang mendirikan organisasi Putri Merdika. Organisasi tersebut bertujuan untuk
memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Dan timbul organisasi-organisasi di
beberapa daerah dengan idiologi yang diusung masing-masing organisasi.
Pergerakan organisasi-organisasi wanita tersebut memberikan sumbangan yang
besar terhadap perjuangan pergerakan nasional.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa saja organisasi pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan
nasional?
b.
Bagaimanakah isi Kongres Perempuan dan apa tujuannya?
C. Tujuan
a.
Mengetahui apa saja pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan
nasional.
b.
Memahami isi Kongres Perempuan dan tujuannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Organisasi Pergerakan Wanita
Awal mula adanya perjuangan yang
dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A. kartini. Beliau sangat prihatin
dengan keadaan wanita pada masa itu yang dikekang dengan tradisi dan
diperlakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu beliau mempunyai suatu
gagasan kepada wanita untuk memajukan pendidikannya. Dengan pendidikan wanita
akan mendapatkan suatu pengajaran agar mampu hidup mandiri dan terhormat. Usaha
Kartini adalah membuka sekolah bagi anak-anak perempuan di pekarangan rumahnya.
Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di Kautaman
Istri pada tahun 1904. Beliau juga membuka cabang sekolah Kautaman Istri di
berbagai daerah.
Mendapatkan pendidikan bagi wanita
memberikan dampak yang positif, karena mereka menjadi peka terhadap masalah
yang dihadapinya. Sehingga memberikan kesadaran bahwa untuk mengumpulkan
pemikiran-pemikiran wanita juga diperlukan sutu wadah untuk menampungnya.
Selain itu juga diperlukan suatu kerjasama yang lebih luas lagi. Sehingga
diperlukan organisasi sendiri bagi wanita.
Organisasi wanita yang muncul
berdiri sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai.
Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan
kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan keluarga,
serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan
meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan
ketrampilan.Dengan demikian organisasi-organisasi perempuan yang berdiri
sebelum tahun 1928 masih berkutat pada masalah domestik yang dihadapi oleh
perempuan.
Pada tahun 1912, atas usaha Budi
Utomo berdirilah organisasi Putri Merdika di Jakarta yang bertujuan memajukan
pengajaran anak-anak perempuan. Organisasi Kautaman Istri berdiri di beberapa
tempat: di Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan
Cicurug (1918). Latihan untuk memajukan kecakapan wanita, khusunya kecakapan
rumah tangga dikelola oleh perkumpulan Pawiyatan Wanito di Magelang (1915),
Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jeporo (1915). Organisasi ini
bertujuan mempererat persaudaraan antara kaum ibu.
Sedangkan dalam Jurnal milik Yuliati
bahwa organisasi yang berturut-turut muncul adalah “Pawiyatan Wanito” di
Magelang (1915), PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurun) di Manado (1917),
“Purborini” di Tegal (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang (1918), “Wanito Hadi”
di Jepara (1919), “Wanito Utomo” dan “Wanita Mulya” di Yogyakarta (1920),
sedang Bukittinggi adalah “Serikat Kaum Ibu Sumatera” (1920). Setelah tahun
1912, mulai banyak muncul organisasi perempuan yang bersifat keagamaan seperti
“Sopo Tresno” (1914) yang merupakan embrio Aisyah. “Sarikat Siti Fatimah” di
Garut sebagai bagian dari Sarikat Islam, yang tahun 1925 menjadi Sarikat Putri
Islam, menyusul “Aisyah” (1917) yang merupakan seksi perempuan Muhammadiyah di
Yogyakarta. Demikian juga organisasi-organisasi perempuan yang berlatar
Belakang agama Protestan dan Katholik berdiri tahun 1924. Di luar Pulau Jawa,
muncul pula organisasi serupa seperti di Minangkabau, Maluku, dan Minahasa.
Setelah tahun 1920 organisasi wanita
makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan
tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya.
Jumlah organisasi wanita bertambah banyak, setiap organisasi politik mempunyai
bagian wanita, misalnya Wanudyo Utomo bagian dari Sarekat Islam, kemudian
menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia.
Bagian wanita Muhammadiyah adalah
Aisyiyah yang tidak mencampuri politik. Dalam hal poligami, organisasi ini juga
menolaknya. Pada tahun 1929 organisasi ini mempunyai anggota sekitar 5000 dari
47 cabang dan mempunyai 32 sekolah putri. Ina Tuni, bagian wanita Sarekat
Ambon, membantu Sarekat Ambon, khususnya di kalangan anggota militer Ambon yang
berhalauan politik. Di Yogyakarta, tempat wanita terpelajar, terdapat beberapa
organisasi wanita yang tidak hanya belajar kepandaian khas wanita tetapi
mempunyai tujuan tertentu, diantaranya Wanito Utomo, Wanito Mulyo, Wanito
Katholik, dan berdiri Putri Budi Sejati di Surabanya. Semua organisasi di atas
berdiri kiran-kira pada tahun 1920.
B. Kongres Perempuan
Pada 1930-an hampir seluruh
perempuan Indonesia tidak dapat membaca dan menulis. Oleh sebab itu selama
kongres 1935, kaum perempuan memutuskan berjuang bersama melawan buta huruf.
Dua puluh tahun kemudian Kementerian Pendidikan NasionaL RI (Republik
Indonesia) dibantu beberapa organisasi perempuan yang secara aktif memberikan
bantuannya bertekad mengatasi masalah itu. Di samping perjuangan yang panjang
dalam memberantas buta huruf, Kementerian Pendidikan juga terus melanjutkan
program pendidikan dasar dan meningkatkan jumlah guru.
Pergerakan perempuan di Indonesia
hanya memiliki sedikit peluang untuk berkembang pada masa pendudukan Jepang.
Satu-satunya organisasi yang diijinkan berjalan adalah Fujinkai (perkumpulan
perempuan). Perkumpulan ini ditujukan untuk memerangi buta huruf, menjalankan
dapur umum, dan ikut serta dalam pekerjaan sosial. Melalui aktivitas tersebut
kaum perempuan Indonesia yang berasal dari kelas atas dan menengah dapat
bergaul lebih dekat dengan kaum perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan
ikatan yang kuat diantara mereka. Mereka bersatu untuk membantu para pejuang
kemerdekaan di garis depan. Palang Merah Indonesia juga dibentuk segera setelah
proklamasi kemerdekaan.
Kaum perempuan mengorganisisr diri
membentuk tim perawat dan penghubung, menjalankan dapur umum, dan klinik
berjalan. Perkumpulan perempuan yang populer pada masa ini adalah Perwani
(Persatuan Wanita Negara Indonesia). Atas inisiatif Perwani cabang
Yogyakartayang dipimpin nyonya D.D Susanto, kongres pertama perempuan setelah
proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari 15
sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan Nyonya
Kartowiyono.
Pertemuan selanjutnya yang diadakan
di Solo dari 24 sampai 26 Februari 1946 memutuskan untuk membuat satu
organisasi tetap bernama Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang terdiri
dari Perwari dan PII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia dari protestan dan
seksi perempuan partai Katolik Indonesia. Kowani mempunyai hak kuasa untuk
membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan yang berada di
dalamnya.
Kongres ke-2 Perempuan Indonesia
setelah perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa
mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda.
Merekla akan membentuk dapur umum dan berjuang dan berjuang di garis depan, dan
menangani segala aktivitas semacam ini.
Kongres Ke-3 Kowani diselenggarakan
di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres ke-4
diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah kepemimpinan Ny.
Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka pada lima prinsip
dasar Pancasila.
Sepanjang malam 18 Desember 1948
pasukan Belanda melancarkan serangan mendadak terhadap Indonesia. Yogyakarta
sebagai ibukota negara dibuat terkejut dan banyak anggota pemerintahan
Indonesia ditahan. Serangan ini memberi efek buruk terhadap perkembangan
gerakan perempuan. Komunikasi antrar perkumpulan perempuian terancam putus.
Tetapi berkat insiatif dan tekad yang kuat, Kowani tetap menyelenggarakan
konferensi di tengah situasi sulit itu. Konferensi berlangsung di Yogyakarta
dari 26 Agustus- 2 September 1949. Konferensi ini menghasilkan :
a. Di bidang hukum:
Konstitusi
Republik harus menegaskan secara positif kesetaraan secara hukum dan politik
bagi seluruh penduduk lelaki dan perempuan dan hak setiap penduduk untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak. Undang-undang perburuhan harus melindungi
para pekerja secara umum dan perempuan secara khusus.
b. Di bidang sosial
Kesehatan
masyarakat harus diperhatikan bantuan kantor konsultasi, poliklinik, dan
institusi bagi perempuan usia lanjut yang diabaikan keluarganya.
c. Di bidang ekonomi
Koperasi
masyarakat harus dibentuk.
d. Di bidang pendidikan
Bura
huruf harus diberantas dan memberikan beasiswa kepada anak perempuan.
Suatu komite untuk merayakan ulang tahun ke-25 pergerakan
perempuan dibentuk pada 1953 dibawah kepemimpinan Mangonsarkoro. Komite ini
bertanggung jawab dalm proses penyuntingan buku peringatan peristiwa tersebut
dan diberi pertanggung jawab mengurus yayasan hari ibu. Nama yayasan ini
dipilih karena kongres 1928 memutuskan bahwa hari ibu seterusnya akan dirayakan
setiap tahun untuk mengenang peristiowa pembukaan kongres pertama perempuan
pada 22 Desember 1928.
Yayasan hari ibu merencanakan mendirikan pusat kegiatan bagi
kaum perempuan di Yogyakarta yang diberi nama Gedung Persatuan Wanita Indonesia
untuk mengenang kongres pertama perempuan di kota itu.
BAB III
KESIMPULAN
Organisasi wanita yang muncul
sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai. Organisasi
perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan kepada
perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta
meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan
meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan
ketrampilan.
Awal mula adanya perjuangan yang
dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A. kartini. Perjuangannya diikuti oleh
Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di Kautaman Istri pada tahun 1904 dan
membuka cabang sekolah Kautaman Istri di berbagai daerah. Setelah tahun 1920
organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat
bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik
pada umumnya. Jumlah organisasi wanita pun semakin bertambah banyak.
Kongres pertama perempuan setelah
proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari 15
sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan Nyonya
Kartowiyono. Kongres ke-2 Perempuan Indonesia setelah perang diadakan dari
14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa mereka akan membantu tentara
republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Kongres Ke-3 Kowani
diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen Poespita.
Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah
kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka
pada lima prinsip dasar Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia.
Jakarta: Komunitas Bambu.
2. Suhartono. 2004. Sejarah
Pergerakan Nasional. Jakarta : Pustaka Pelajar.
3. Kowani dalam yuliati, 2010, Organisasi Perempuan dan
Perjuangan Nasional Abad ke-20, diunduh dari fis.um.ac.id/blog/2010/09/06/organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-abad-ke-20/
pada tanggal 23 September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar