Powered By Blogger

Kamis, Desember 20, 2012

MAKALAH PERGERAKAN WANITA DI MASA PERGERAKAN NASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Saat bangsa ini terus merintis kemajuannya demi meningkatkan martabat di mata bangsa lain, kepingan sejarah yang diciptakan oleh orang-orang berani dan bermisi kuat pun terus bertambah. Jika kita mau menelurusi kepingan-kepingan sejarah tersebut, maka jangan terkejut jika kita banyak menemukan peran wanita di dalamnya.
Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, kiprah perempuan Indonesia yang mengambil bagian dalam memajukan berbagai bidang kehidupan tidak bisa dilupakan begitu saja. Perempuan adalah bagian yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Pada saat krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Namun dalam keadaan yang kritis, tak jarang pula perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga hingga meluas ke perekonomian masyarakat.
Dilihat dari lembaran sejarah perjuangan bangsa, gerakan kebangkitan nasional berawal dari politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mengecap pendidikan di sekolah. Sebenarnya maksud dari politik pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk menghasilkan pekerja seperti buruh-buruh yang terdidik, guru-guru, birokrat rendahan, serta dokter-dokter yang bisa menangani penyakit kaum pribumi. Dengan demikian mereka bisa menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. Namun ternyata politik ini memberi manfaat tersendiri bagi pemuda Indonesia. Pencerahan dalam dunia pendidikan yang mereka dapatkan menuntut jiwa muda mereka untuk mulai bergerak memperjuangkan kebangkitan bangsa ini untuk menuju kemerdekaan nantinya. Hingga tahun 1908 berdirilah organisasi Budi Utomo yang menjadi titik kebangkitan nasional. Sebenarnya jauh sebelum Budi Utomo dikukuhkan, telah lahir nama-nama pejuang perempuan yang ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan Laksamana Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan memimpin armada yang terdiri atas 2.000 prajurit perempuan. Selain Malahayati, kita kenal juga Martha Christina Tiahahu (1801-1818), Cut Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan anaknya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang wanita di sana.
Memasuki era perjuangan perempuan tanpa senjata, lahirlah seorang pejuang perempuan bernama R.A. Kartini (1879-1904) yang berjuang dalam memajukan pendidikan bagi kaum perempuan. Beliau menggugah kesadaran masyarakat pada saat itu dengan mengganti pola pikir keliru yang menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu mengecap pendidikan, dengan pola pikir kemajuan yang menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan pendidikan di sekolah. Tidak hanya si Sekolah Rendah, melainkan harus dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, seperti halnya kaum laki-laki.
Tentu saja, tidak hanya Kartini yang berjuang dalam meningkatkan taraf hidup kaum perempuan. Ada banyak perempuan yang tersebar di Nusantara yang juga menjadi pejuang kaum perempuan untuk menjadi lebih baik dan maju. Sejarah mencatat beberapa nama seperti Rohana Kudus yang menaikkan nama perempuan di kalangan jurnalis Indonesia, Rasuna Said yang menjadi perempuan pertama yang ditangkap kemudian dipenjara karena pidatonya yang mengecam tajam ketidakadilan pemerintah Belanda pada tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga Ny. Dahlan yang membangun kajian ta’lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di kawasan pondok-pondok.
Untuk mewujudkan cita-cita peningkatan kualitas pendidikan di kalangan perempuan, maka kekuatan masapun dirasa perlu. Oleh karena itu pejuang perempuan pada masa itu membentuk suatu organisasi perempuan yang akan mewadahi cita-cita mereka. Berawal dari Putri Mardika, sebuah organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912, organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai daerah. Menjamurnya organisasi perempuan di negeri ini memunculkan gagasan untuk menyatukan pikiran dalam sebuah pertemuan akbar, dan dengan usaha kuat di tengah-tengah masa jajahan akhirnya berhasil diadakan Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).
Dari untaian sejarah yang mengagumkan, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya Nusantara yang luas seakan sempit ketika perjuangan tak mengenal batas. Di masa jajahan penuh kekangan ditambah dengan teknologi komunikasi yang jauh lebih sederhana dari sekarang ini, pejuang perempuan pada masa itu bisa dengan sukses mengumpulkan puluhan organisasi perempuan yang tersebar di Nusantara dalam satu kongres besar. Ternyata benar adanya, pejuang dan pemimpin yang lahir dari zona ‘tidak aman’ akan tumbuh kuat dan tangguh.


Timbulnya pergerakan wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini yang memperjuangkan perbaikan kedudukan social wanita. Pada awal pergerakan wanita soal-soal politik belum menjadi perhatiannya, sedangkan yang mendesak untuk dipecahkan bagi mereka adalah perbaikan dalam hidup keluarga, perkawinan, dan mempertinggi kecakapan sebagai seorang wanita.
Awalnya Kartini hanya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan laki-laki. Wanita pada saat itu memang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di dapur, sumur dan kasur. Wanita tidak boleh mengenyam pendidikan seperti yang dapat dinikmati oleh laki-laki. Sehingga wanita sangat tertinggal jauh dari laki-laki dalam pendidikan dan wawasan. Akhirnya timbul tekad Kartini untuk memperjuangkan hak-hak wanita agar mampu menyamakan derajatnya dengan laki-laki.
Setelah perjuangan Kartini yang membuka sekolah untuk perempuan, perjuangannya diteruskan oleh Dewi Sartika yang mendirikan organisasi Putri Merdika. Organisasi tersebut bertujuan untuk memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Dan timbul organisasi-organisasi di beberapa daerah dengan idiologi yang diusung masing-masing organisasi. Pergerakan organisasi-organisasi wanita tersebut memberikan sumbangan yang besar terhadap perjuangan pergerakan nasional.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa saja organisasi pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional?
b.      Bagaimanakah isi Kongres Perempuan dan apa tujuannya?

C.    Tujuan
a.       Mengetahui apa saja pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional.
b.      Memahami isi Kongres Perempuan dan tujuannya.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Organisasi Pergerakan Wanita
Awal mula adanya perjuangan yang dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A. kartini. Beliau sangat prihatin dengan keadaan wanita pada masa itu yang dikekang dengan tradisi dan diperlakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu beliau mempunyai suatu gagasan kepada wanita untuk memajukan pendidikannya. Dengan pendidikan wanita akan mendapatkan suatu pengajaran agar mampu hidup mandiri dan terhormat. Usaha Kartini adalah membuka sekolah bagi anak-anak perempuan di pekarangan rumahnya. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di Kautaman Istri pada tahun 1904. Beliau juga membuka cabang sekolah Kautaman Istri di berbagai daerah.
Mendapatkan pendidikan bagi wanita memberikan dampak yang positif, karena mereka menjadi peka terhadap masalah yang dihadapinya. Sehingga memberikan kesadaran bahwa untuk  mengumpulkan pemikiran-pemikiran wanita juga diperlukan sutu wadah untuk menampungnya. Selain itu juga diperlukan suatu kerjasama yang lebih luas lagi. Sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi wanita.
Organisasi wanita yang muncul berdiri sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan ketrampilan.Dengan demikian organisasi-organisasi perempuan yang berdiri sebelum tahun 1928 masih berkutat pada masalah domestik yang dihadapi oleh perempuan.
Pada tahun 1912, atas usaha Budi Utomo berdirilah organisasi Putri Merdika di Jakarta yang bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Organisasi Kautaman Istri berdiri di beberapa tempat: di Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). Latihan untuk memajukan kecakapan wanita, khusunya kecakapan rumah tangga dikelola oleh perkumpulan Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jeporo (1915). Organisasi ini bertujuan mempererat persaudaraan antara kaum ibu.
Sedangkan dalam Jurnal milik Yuliati bahwa organisasi yang berturut-turut muncul adalah “Pawiyatan Wanito” di Magelang (1915), PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurun) di Manado (1917), “Purborini” di Tegal (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang (1918), “Wanito Hadi” di Jepara (1919), “Wanito Utomo” dan “Wanita Mulya”  di Yogyakarta (1920), sedang Bukittinggi adalah “Serikat Kaum Ibu Sumatera” (1920). Setelah tahun 1912, mulai banyak muncul organisasi perempuan yang bersifat keagamaan seperti “Sopo Tresno” (1914) yang merupakan embrio Aisyah. “Sarikat Siti Fatimah” di Garut sebagai bagian dari Sarikat Islam, yang tahun 1925 menjadi Sarikat Putri Islam, menyusul “Aisyah” (1917) yang merupakan seksi perempuan Muhammadiyah di Yogyakarta. Demikian juga organisasi-organisasi perempuan yang berlatar Belakang agama Protestan dan Katholik berdiri tahun 1924. Di luar Pulau Jawa, muncul pula organisasi serupa seperti di Minangkabau, Maluku, dan Minahasa.
Setelah tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat  bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita bertambah banyak, setiap organisasi politik mempunyai bagian wanita, misalnya Wanudyo Utomo bagian dari Sarekat Islam, kemudian menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia.
Bagian wanita Muhammadiyah adalah Aisyiyah yang tidak mencampuri politik. Dalam hal poligami, organisasi ini juga menolaknya. Pada tahun 1929 organisasi ini mempunyai anggota sekitar 5000 dari 47 cabang dan mempunyai 32 sekolah putri. Ina Tuni, bagian wanita Sarekat Ambon, membantu Sarekat Ambon, khususnya di kalangan anggota militer Ambon yang berhalauan politik. Di Yogyakarta, tempat wanita terpelajar, terdapat beberapa organisasi wanita yang tidak hanya belajar kepandaian khas wanita tetapi mempunyai tujuan tertentu, diantaranya Wanito Utomo, Wanito Mulyo, Wanito Katholik, dan berdiri Putri Budi Sejati di Surabanya. Semua organisasi di atas berdiri kiran-kira pada tahun 1920.  

B.     Kongres Perempuan
Pada 1930-an hampir seluruh perempuan Indonesia tidak dapat membaca dan menulis. Oleh sebab itu selama kongres 1935, kaum perempuan memutuskan berjuang bersama melawan buta huruf. Dua puluh tahun kemudian Kementerian Pendidikan NasionaL RI (Republik Indonesia) dibantu beberapa organisasi perempuan yang secara aktif memberikan bantuannya bertekad mengatasi masalah itu. Di samping perjuangan yang panjang dalam memberantas buta huruf, Kementerian Pendidikan juga terus melanjutkan program pendidikan dasar dan meningkatkan jumlah guru.
Pergerakan perempuan di Indonesia hanya memiliki sedikit peluang untuk berkembang pada masa pendudukan Jepang. Satu-satunya organisasi yang diijinkan berjalan adalah Fujinkai (perkumpulan perempuan). Perkumpulan ini ditujukan untuk memerangi buta huruf, menjalankan dapur umum, dan ikut serta dalam pekerjaan sosial. Melalui aktivitas tersebut kaum perempuan Indonesia yang berasal dari kelas atas dan menengah dapat bergaul lebih dekat dengan kaum perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan ikatan yang kuat diantara mereka. Mereka bersatu untuk membantu para pejuang kemerdekaan di garis depan. Palang Merah Indonesia juga dibentuk segera setelah proklamasi kemerdekaan.
Kaum perempuan mengorganisisr diri membentuk tim perawat dan penghubung, menjalankan dapur umum, dan klinik berjalan. Perkumpulan perempuan yang populer pada masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia). Atas inisiatif Perwani cabang Yogyakartayang dipimpin nyonya D.D Susanto, kongres pertama perempuan setelah proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari 15 sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan Nyonya Kartowiyono.
Pertemuan selanjutnya yang diadakan di Solo dari 24 sampai 26 Februari 1946 memutuskan untuk membuat satu organisasi tetap bernama Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang terdiri dari Perwari dan PII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia dari protestan dan seksi perempuan partai Katolik Indonesia. Kowani mempunyai hak kuasa untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan yang berada di dalamnya.
Kongres ke-2 Perempuan Indonesia setelah perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Merekla akan membentuk dapur umum dan berjuang dan berjuang di garis depan, dan menangani segala aktivitas semacam ini.
Kongres Ke-3 Kowani diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.
Sepanjang malam 18 Desember 1948 pasukan Belanda melancarkan serangan mendadak terhadap Indonesia. Yogyakarta sebagai ibukota negara dibuat terkejut dan banyak anggota pemerintahan Indonesia ditahan. Serangan ini memberi efek buruk terhadap perkembangan gerakan perempuan. Komunikasi antrar perkumpulan perempuian terancam putus. Tetapi berkat insiatif dan tekad yang kuat, Kowani tetap menyelenggarakan konferensi di tengah situasi sulit itu. Konferensi berlangsung di Yogyakarta dari 26 Agustus- 2 September 1949. Konferensi ini menghasilkan :

a.       Di bidang hukum:
Konstitusi Republik harus menegaskan secara positif kesetaraan secara hukum dan politik bagi seluruh penduduk lelaki dan perempuan dan hak setiap penduduk untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Undang-undang perburuhan harus melindungi para pekerja secara umum dan perempuan secara khusus.
b.      Di bidang sosial
Kesehatan masyarakat harus diperhatikan bantuan kantor konsultasi, poliklinik, dan institusi bagi perempuan usia lanjut yang diabaikan keluarganya.
c.       Di bidang ekonomi
Koperasi masyarakat harus dibentuk.
d.      Di bidang pendidikan
Bura huruf harus diberantas dan memberikan beasiswa kepada anak perempuan.
Suatu komite untuk merayakan ulang tahun ke-25 pergerakan perempuan dibentuk pada 1953 dibawah kepemimpinan Mangonsarkoro. Komite ini bertanggung jawab dalm proses penyuntingan buku peringatan peristiwa tersebut dan diberi pertanggung jawab mengurus yayasan hari ibu. Nama yayasan ini dipilih karena kongres 1928 memutuskan bahwa hari ibu seterusnya akan dirayakan setiap tahun untuk mengenang peristiowa pembukaan kongres pertama perempuan pada 22 Desember 1928.
Yayasan hari ibu merencanakan mendirikan pusat kegiatan bagi kaum perempuan di Yogyakarta yang diberi nama Gedung Persatuan Wanita Indonesia untuk mengenang kongres pertama perempuan di kota itu.

















BAB III
KESIMPULAN

Organisasi wanita yang muncul sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan ketrampilan.
Awal mula adanya perjuangan yang dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A. kartini. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di Kautaman Istri pada tahun 1904 dan membuka cabang sekolah Kautaman Istri di berbagai daerah. Setelah tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat  bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita pun semakin bertambah banyak.
Kongres pertama perempuan setelah proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari 15 sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan Nyonya Kartowiyono. Kongres ke-2 Perempuan Indonesia setelah perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Kongres Ke-3 Kowani diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

1.       Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
2.      Suhartono. 2004. Sejarah Pergerakan Nasional.  Jakarta : Pustaka Pelajar.
3.      Kowani dalam yuliati, 2010, Organisasi Perempuan dan Perjuangan Nasional Abad ke-20, diunduh dari fis.um.ac.id/blog/2010/09/06/organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-abad-ke-20/ pada tanggal 23 September 2012.

Tidak ada komentar: