Pengantar : Peristiwa yang terjadi sekitar usaha
kudeta masih diselubungi misteri dan
masih belum jelas sejauhmana keterlibatan unsure militer Indonesia atau PKI.
Peristiwa 1 Oktober 1965 ini banyak sekali tafsirannya. Beberapa teori menduga
gerakan itu merupakan peristiwa Internal militer yang melibatkan sejumlah
pimpinan komunis atau merupakan akibat keretakan dalam partai antara Aidit
sebagai ketua dan Njoto, Wakil ketua komite sentral PKI. Teori lain menduga
bahwa Presiden Soekarno atau Mayor Jendral Suharto lah Dalang utama kejadian
tersebut. Yang terpenting disini adalah terjadinya Gerakan 30 September (nama
yang diberikan pemberontak kepada tindakan mereka), Angkatan Darat mengumumkan
bahwa gerakan tersebut adalah usaha kudeta oleh PKI terhadap pemerintah dan
segera mengambil langkah untuk menguasai versi cerita yang sampai kepada
masyarakat. Publikasi yang datang dari pihak komunis atau golongan kiri yang
lain cepat dibungkam, dan muncullah surat kabar Pro Angkatan Darat. Munculnya
surat kabar ini memicu ketegangan soekarno bahwa surat kabar ini menyebutkan
tentang siksaan yang diderita para perwira Angkatan Darat sebelum mereka
meninggal. Namun Pers hanyalah satu tempat yang digunakan militer untuk mencoba
menguasai, mereplika dan membela versinya sendiri mengenai usaha kudeta
tersebut.
(“kudeta”
berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat yang berarti serangan atau pukulan
pada negara. Menurut Edwrad Luttwak dalam bukunya Coup d’Etat, a Practical
Handbook (1968), a coup consists of the infiltration of a small, but critical,
segment of the state apparatus, which is then used to displace the government
from its control of the remainder. Kudeta terjadi apabila ada sekelompok kecil
tentara yang kritis, menyusup, mengambil alih, dan mengontrol pemerintahan.
Kudeta merupakan tindakan ilegal).
Pada pembahasan kali ini kami akan mencermati peran
Nugroho dan pusat sejarah ABRI dalam menghasilkan terbitan pertaa versi kisah
usaha kudeta. Nugroho berhasil menerbitkan buku yang mengidentifikasi kudeta
itu sebagai komplotan komunis hanya dalam waktu 40 hari.
Terbitan
Pertama Versi Usaha Kudeta
Sebagaimana di kemukakan sebelumnya, Pusat sejarah
ABRI sudah beroperasi ketika usaha kudeta terjadi. Dibawah arahan Nugroho,
Pusat sejarah ABRI langsung bekerja dengan tujuan untuk segera menerbitkan
narasi usaha kudeta versi angkatan darat. Hasilnya ialah “40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November” yang sebagian
besar merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan membuktikan
bahwa usaha kudeta adalah persekongkolan komunis.
Buku “40 Hari
Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November adalah buku pertama mengenai
kudeta yang dikeluarkan di Indonesia, dan merupakan awal sebuah narasi yang
berulangkali dikonsolidasikan sepanjang periode rezim Orde Baru.
Terbitan
Resmi Kisah Usaha Kudeta dalam bahasa Inggris
Pada tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation
California memberitahukan kepada mayor Jendral Suwarto dari Seskoad bahwa ada
versi lain tentang usaha kudeta yang disusun oleh ilmuwan di Univeritas
Cornell. Versi ini lebih dikenal dengan nama makalah corner (“cornell Paper”).
Makalah ini menyimpulkan bahwa usaha kudeta kemungkinan besar merupakan hasil
konflik yang parah intra-Angkatan Darat. Sudah tentu makalah ini merupakan
tantangan besar bagi rezim orde baru yang baru terbentuk dan tidak hanya
menyentuh pemerintah Indonesia yang baru tetapi juga sekutu perang dinginnya,
Amerika Serikat.
Telah banyak beredar teori mengenai keterlibatan
Amerika Serikat dalam usaha kudeta dan dalam pembunuhan massal yang terjadi
sesudahnya. Walaupun bukti-bukti peran mereka tidak banyak. Bagaimanapun dalam
kasus Cornell Paper ini pemerintah AS membantu rezim orde baru.
Melestarikan
dan Memperingati sumur Lubang Buaya
Michael van Langenberg berpendapat bahwa kondisi jenazah perwira Angkatan Darat korban
kudeta ketika ditemukan merupakan bagian penting dari propaganda awal mengenai
kudeta. Jenazah korban kudeta di Jakarta, yang terdiri dari enam jenderal
angkatan darat paling senior ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965. Mereka di
temukan tertutup sampah dalam sebuah sumur yang tidak dipakai lagi di pangkalan
udara halim, di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Lokasi sumur tersebut
kemudian terkenal tidak hanya karena liputan pers mengenai penggalian jenazah
korbn tetapi juga karena mitologi yang kemudian berkembang. Pada awalnya gambar
direkam oleh kru film dan juru kamera. Foto-foto tersebut kemudian di cetak
ulang dalam buku teks sejarah dan dalam surat kabar dank lip televise setiap
tahun pada hari peringatan 1 Oktober.
Foto Sumur Lubang Buaya. Dalam prasasti tersebut
sapat dibaca : Cita-Cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila
tidak mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini. Foto ini
merupakan salah satu isi dalam penulisan historiografi Indonesia pada masa orde
baru.

Setelah bebarapa waktu, di bangun pula komplek museum dan monumen yang luas sekeliling itu. Tahap kedua pengembangan Monumen Pancasila Sakti adalah membangun monumen yang besar. Monumen ini berlatar belakang burung garuda yang besar yang terbuat dari perunggu yang di tempelkan pada dinding pualam putih, dan diberi latar depan berupa patung perunggu tujuh pahlawan angkatan darat berukuran sebesar badan dan tampak hidup. Dasar monument ini di beri relief sejarah. Pusat sejarah ABRI mengatakan bahwa Monumen Pancasila Sakti menggambarkan sebuah tempat historis yang dapat terus menerus berkisah seobyektif mungkin supaya usaha-usaha untuk memalsukan atau memanipulasi data sejarah dapat dicegah atau dihalangi.

Relief
pada Dasar monumen

Kesaktian
Pancasila
Saktinya
filsafat nasional, Pancasila adalah konsep utama dalam monument di Lubang buaya
dan setiap tahun hari peringatannya diselenggarakan di tempat ini.
Dalam keputusan presiden tahun 1967 mengenai tanggal
1 Otober sebagai hari yang perlu dikenang, Soeharto menyatakan bahwa peringatan
hari kesaktian pancasila didasari dalil bahwa :
“…Hari 1 Oktober dengan demikian memiliki cirri dan
corak yang khusus sebagai suatu hari untuk lebih mempertebal dan meresapkan
keyakinan akan kebenaran serta kesaktian pancasila sebagai satu-satunya
pandangan hidup yang dapat mempersatukan seluruh Negara, Bangsa dan rakyat
Indonesia”.
` Walaupun
secara umum kata ‘Kesaktian’ dapat diterjemahkan sebagai sacral atau suci, Kata
ini sebetulnya mengandung sejumlah arti dan beberapa diantaranya berpengaruh
untuk pesan yang ingin disampaikan oleh monument dan hari peringatan tersebut.
Secara umum, sakti menyiratkan adanya sifat gaib, suci atau kedewaan dan magis.
Karena
pada tanggal 1 Oktober 1965 adalah hari ketika usaha kudeta dilaksanakan dan ditumpas, maka nama yang diberikan pada
hari peringatannya, Hari kesaktian Pancasila menyiratkan pada hari inilah
pancasila diuji dan diancam. Kaum anti komunis memang jelas percaya bahwa
golongan komunis tidak mungkin bisa menerima pancasila dan dasar yang paling
masuk akal buat keyakinan ini yaitu bahwa golongan komunis akan meninggalkan
Pancasila bila mereka mengambil alih kekuasaaan.
Namun
demikian, dalam kisah usaha kudeta versi orde baru yang resmi, Soeharto lah
bersama pasukan kostrad yang dihubungkan dengan penyelamatan pancasila. Baik
nama monument maupun nama hari peringatannya juga merupakan upaya yang jelas
untuk menyejajarkan rezim baru dengan Pancasila.
Pada
hari ulang tahun pertamanya pada tanggal 1 Juni 1967, ketika Soeharto berperan
sebagai presiden, Dia membuat pidato yang berisi kata-katanya yang menyatakan :
“kita
mengagungkan Pancasila, Bukan sekedar karena dia ditemukan kembali dan
dirumuskan oleh seseorang (baca:Soekarno) dari kandungan kepribadian dan
cita-cita bangsa Indonesia yang bterpendam sejak berabad-abad yang lalu,
melainkan karena pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya, juga
setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa”
Pada
saat rezim orde baru berupaya mengaku
dirinya sebagai pemilik Pancasila melalui versi resmi kisah usaha kudeta,
Nugroho Notosusanto mulai menganggap penyelidikan tentang asal-usul pancasila,
yang menjadi sebuah proyek sejarah yang lain yang dirancang untuk melepaskan
Soekarno dari kaitannya dengan Pancasila. Dalam tahun 1970-an, Nugroho mulai
mengedarkan teorinya bahwa Soekarno hanya seorang dari tiga penggali pancasila
dan bahwa hari lahir pancasila yang sebenarnya adalah 18 Agustus 1945, hari
ketika pancsila bersana Undang-Undang 1945 secara hokum disahkan, dan bukan 1
Juni 1945, hari ketika Soekarno untuk pertama kali mengumumkan ide pancasila
ini.
Teori
Nugroho didasari versi lain yang katanya diubah, yang bersumber pada pidato
Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 di depan panitia persiapan kemerdekaan yang
muncul dalam publikasi Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang menurut
Nugroho berisi konsep-konsep ke-pancasila-an. Pada tahun 1975 sebuah tim
investigasi yang terdiri dari 5 orang dan diketuai oleh Mohammad Hatta, wakil
presiden pertama, menemukan naskah dalam buku Yamin yang merupakan versi pidato
Yamin pada tahun 1945 yang telah banyak
diubah. Waaupun urutan dan redaksinya memang sedikit berubah antara 1 Juni dan
18 Agustus, perbedaan yang angkuh ini dirancang semata-mata untuk tujuan
politis melepaskan kaitan Soekarno dengan pancasila.
Karya
Nugroho mengenai asal-usul Pancsila mungkin kasus manipulasi sejarah yang
paling mencolok untuk rezim orde Baru.
Nugroho
juga dituduh berusaha mencemarkan citra Soekarno dalam sejarah yang menyangkal
perannya sebagi penggali Pancasila, suatu peran yang ingin diambil oleh rezim
orde baru. Walaupun kontroversi berputar tentang karya Nugroho, teorinya tetap
menjadi bagian dari penataran indoktrinasi pancasila oleh pemerintah, Penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan tetap dimasukkan dalam Buku Sejarah Nasional Volume 6.
Kementerian Pendidikan juga menjadikan buku Nugroho tentang teori Pancasila
bacaan wajib bagi guru Pendidikan Moral Pancasila(PMP) dan sebagai buku acuan untuk
melengkapi Seri Sejarah Nasioanal.
Kemudian
yang dapat diambil dari pesan “kesaktian” pancasila seperti yang ada pada
bagian-bagian rinci monument pancasila. Tujuh pahlawan angkatan darat yang
digambarkan menghadap ke cungkup berdiri dengan sikap badan seakan menuduh,
dengan tangan yang mengepal yang mencerminkan percaya diri, kekuatan dan
kewaspadaan.

Lalu,
pada tahun 1980 pengelolaan komplek Monumen Pancasila Sakti dipindah dari
Sekretariat Negara ke pusat Sejarah ABRI. Tidak lama kemudian pusat sejarah ABRI menambah dikomplek itu
sebuah museum yang mengisahkan kejadian-kejadian usaha kudeta dan sebuah
ruangan benda-benda peninggalan. Pada saat Nugroho mengerjakan museum yang baru
ini, Dia juga membantu menciptakan film propaganda epik Pengkhianatan Gerakan 30 September, Sebuah film yang juga mengulang
kembali versi resmi kisah usaha kudeta.
Museum
Monumen Pancasila Sakti
Museum nasional
Pancasila sakti terdiri dari diorama, ruang benda peninggalan, dan sebuah
teater kecil untuk menonton film documenter tentang peristiwa 1945. Diaroma di
museum ini dilengkapi dengan rekaman suara yang dapat didengar oleh pengunjung
dengan memasukkan uang logam kedalam kotak kecil disebelah setiap diorama.
Museum ini juga memiliki serambi kecil tempat tergantungnya potret tujuh
perwira Angkatan Darat korban usaha kudeta : Letnan Jendral A.Yani, Mayor
Jendral Suprapto, Mayor Jendral S.Parman, Mayor Jendral M.T. Haryono, Brigadir
Jendral D.I Panjaitan, Brigadir Jendral Sutoyo Siswomihardjo dan Letnan Pierre
Andreas Tendean.
















Ruang
benda-benda peninggalan, yang berada disebelah pertunjukan diorama, lebih
banyak lagi memberikan sentuhan pribadi pada penderitaan martir Angkatan
Darat dengan memperlihatkan milik
pribadi para pahlawan pada saat mereka diculik. Sejarah peringatan dari pusat
sejarah ABRI mengatakan bahwa benda-benda tersebut merupakan “…Kesakisan bisu
kekejaman G 30 S/PKI yang masih dapat disaksikan misalnya pada pakaian dinas Mayjen
TNI S. Parman di bagian perut terdapat beberapa lubang bekas tembakan. Juga
pada kain sarung dan kemeja Mayjen TNI suprapto terdapat bercak-bercak darah
dan pada jaket Lettu Pierre A. Tendean dibagian perut koyak-koyak akibat
tusukan benda tajam”.

Film Penghianatan gerakan 30
September
Film Pengkhianatan gerakan 30 September
mungkin merupakan gambaran resmi usaha kudeta 1965 yang paling dikenal,
karena setelah dikeluarkan pada tahun 1983, film tersebut ditayangkan di TVRI
setiap tanggal 30 September sepanjang periode Orde Baru. Tokoh-tokoh kunci yang
mengerjakan film ini adalah Nugroho sendiri sebagai penyunting dan yang
versinya tenntang kudeta menjadi dasar utama untuk penulisan naskah film,
Brigadir Jendral Dwipayana, seorang terpercaya staf kepresidenan yang saat itu
menjabat sebagai Direktur perusahaan film nasional, dan sutrada Arifin C.Noer.
Digambarkan
dalam sebuah adegan sebelum terjadinya usaha kudeta seorang bocah yang tampak
miskin bertanya kepada ibunya yang sedang menangis, “Siapa yang membunuh
bapak, ibu?”. Ibunya menjawab, “Orang
Komunis, Mereka Biadab.”
Film Penghianatan Gerakan 30 September
menyajijan gambaran yang hidup tentang penyiksaan para jendral. Dalam film,
adegan liar di Lubang Buaya mulai dengan menari, api dan yel-yel. Dapat kita
saksikan wajah seorang jendral yang berdarah dan tubuh para korban diseret kian
kemari. Adegan penyiksaan yang berdarah ini, termsuk penculikan mata dan
kerusakan bagian tubuh lainnya yang diiringi musik.
Representasi Penyiksaan
Baik Film resmi tersebut maupun
Museum Pancasila Sakti menggambarkan
penyiksaan secara terang-terangan. Hal ini berbeda dengan gambaran resmi
sebelumnya mengenai kudeta termasuk buku
40 Hari Kegagalan “G-30 S” 1 Oktober-10 November versi militer tentang
usaha kudeta dalam bahasa Inggris, dan relief pada monument yang hanya
menyiratkan secara halus adanya penyiksaan. Tidak satupun dari dua terbitan ini secara langsung
meyajikan kisah mengerikan tentang penyiksaan para pahlawan revolusi sebelum
mereka meninggal, juga tidak mengeluarkan pernyataan seram mengenai penculikan
mata dan bagian tubuh sebelum mereka meninggal
Pada tahun 1987, Anderson
menerbitkan menerbitkan terjemahan laporan otopsi yang dilakukan atas perintah
Soeharto setelah jenazah para pahlawan militer ditemukan dan diangkat dari
sumur. Laporan tersebut menyatakan bahwa mata korban tidak di cukil dan bagian
tubuh lainnya masih utuh. Walaupun begitu, keluarnya laporan ini tidak
menghalangi Pusat Sejarah ABRI untuk, pada tahun 1991, menambah pada komplek
monument sebuah gambaran tentang penyiksaan terhadap pahlawan angkatan darat yang
lebih mencolok.


Pesan yang diulang-ulang, Persepsi
yang bercampur
Karena selama periode Orde Baru
dilaksanakan pengawasan sensor yang ketat, sebagian besar orang Indonesia hanya
menerima versi hitam putih yang disederhanakan mengenai masa lalu, yang
semata-mata menyajikan stereotip tersebut tadi. Beberapa anak yang pernah
menonton film Pengkhianatan Gerakan 30
September atau yang mengetahui tentang “Komunis” dari sekolah ketika
mengunjungi monumen pancasila sakti mengangkat tangan mereka seakan-akan
memegang senjata, dan bertanya “Diman PKI?” seakan-akan siap untuk menembak.
Dalam periode pasca Soeharto, ahli sejarah Taufik Abdullah mengkritik keras gaya
penulisan sejarah yang demikian, yang disebutnya sebagai ‘Sejarah untuk
menuntuk pembalasan’.
Indonesia Pasca Soeharto Menentang
Versi Orde baru tenteng Kudeta
Terakumulasinya sinisme terhadap
representasi resmi usaha Kudeta juga dapat dilihat dari serangan balik pada
versi ini setelah Soeharto mengundurkan diri, ketika kebebasan pers
memungkinkan pengungkapan pandangan-pandangan yang demikian. Beberapa waktu
setelah jatuhnya Soeharto, Letnan Kolonel Latief, seoranng narapidana politik
yang dihukum karena keterlibatannya dalam peristiwa usaha kudeta 1965,
menyatakan dalam sebuah wawancara pers bahwa semalam sebelum usaha kudeta dia
mempperingatkan Soeharto bahwa para Jendral akan diculik. Dia juga menyatakan
bahwa Soeharto memilih tidak bertindak sampai kudeta dilakukan. Untuk
menanggapi keraguan tentang versi kudeta pemerintah, Preside baru, B.J Habibie
menghentikan penayangan film Pengkhianatan
Gerakan 30 September.
Kebanyakan artikel yang ditulis
setelah lengsernya Soeharto berpusat pada peran Soeharto dalam usaha Kudeta,
dan khusunya berfokus pada versi Latief mengenai usaha kudeta, dan tidak pada
peran militer. Beberapa artikel juga membahas teori Ruth McVey dan Benedict
Anderson yang menyatakan bahwa kudeta merupakan peristiwa internal militer.
Kesimpulan
Nugroho Notosusanto merupakan Kepala
Pusat penulis utama terbitan pertama versi kisah usaha kudeta. 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10
November penting karena buku ini mengkonsolidasi propaganda Angkatan Darat
mengenai Kudeta dan menyajikan laporan yang kronologis mengenai keterlibatan
PKI. Buku ini juga menjadi dasar versi resmi Orde Baru tentang kisah usaha
kudeta untuk 30 tahun selanjutnya.
Kemudian, Usaha mempertahankan
legitimasi ini untuk dunia luar dilakukan melalui versi kisah usaha kudeta dalam bahasa inggris, di tulis oleh Nugroho
Notosusanto dan Ismail Saleh dengan bantuan Pemerintah Amerika Serikat, sebagai
tanggapan terhadap munculnya Cornell
Paper. Gambaran mengenai usaha kudeta menceritakan jauh lebih banyak
tentang rezim Orde Baru daripada mengenai kudeta itu sendiri.
Lalu, relief di bawah monument pancasila sakti
menceritakan perjalanan menuju krisis nasional di bwah pmpinan Soekarno dan
pengaruh komunis yang tidak bermoral, kemudian beralih ke pemulihan
keterlibatan dan moralitas di bawah Soeharto.
Begitu pula museum di komplek
monument pancasila sakti, Film Pengkhianatan
Gerakan 30 September dan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila dengan
cara yang sama mengulang tema pengkhianatan komunis, penderitaan martir
Angkatan Darat dan peran Angkatan Darat dalam melindungi Pancasila.
Terakhir, dapat kita ambil sebuah
tulisan, bahwa Usaha Kudeta merupakan episode sejarah pertama yang mendapat
perhatian cermat dari Nugroho Notosusanto dan Pusat Sejarah ABRI. Dalam waktu
singkat pusat sejarah ABRI melihat ke peristiwa-peristiwa sejarah lainnya untuk
meningkatkan peran militer dalam sejarah Indonesia dan untuk mengukuhkan
persatuan dan nila-nilai militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar