Powered By Blogger

Kamis, Desember 20, 2012

HISTORIOGRAFI INDONESIA : SEJARAH UNTUK MEMBELA REZIM ORDE BARU

Pengantar : Peristiwa yang terjadi sekitar usaha kudeta masih  diselubungi misteri dan masih belum jelas sejauhmana keterlibatan unsure militer Indonesia atau PKI. Peristiwa 1 Oktober 1965 ini banyak sekali tafsirannya. Beberapa teori menduga gerakan itu merupakan peristiwa Internal militer yang melibatkan sejumlah pimpinan komunis atau merupakan akibat keretakan dalam partai antara Aidit sebagai ketua dan Njoto, Wakil ketua komite sentral PKI. Teori lain menduga bahwa Presiden Soekarno atau Mayor Jendral Suharto lah Dalang utama kejadian tersebut. Yang terpenting disini adalah terjadinya Gerakan 30 September (nama yang diberikan pemberontak kepada tindakan mereka), Angkatan Darat mengumumkan bahwa gerakan tersebut adalah usaha kudeta oleh PKI terhadap pemerintah dan segera mengambil langkah untuk menguasai versi cerita yang sampai kepada masyarakat. Publikasi yang datang dari pihak komunis atau golongan kiri yang lain cepat dibungkam, dan muncullah surat kabar Pro Angkatan Darat. Munculnya surat kabar ini memicu ketegangan soekarno bahwa surat kabar ini menyebutkan tentang siksaan yang diderita para perwira Angkatan Darat sebelum mereka meninggal. Namun Pers hanyalah satu tempat yang digunakan militer untuk mencoba menguasai, mereplika dan membela versinya sendiri mengenai usaha kudeta tersebut.
 (“kudeta” berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat yang berarti serangan atau pukulan pada negara. Menurut Edwrad Luttwak dalam bukunya Coup d’Etat, a Practical Handbook (1968), a coup consists of the infiltration of a small, but critical, segment of the state apparatus, which is then used to displace the government from its control of the remainder. Kudeta terjadi apabila ada sekelompok kecil tentara yang kritis, menyusup, mengambil alih, dan mengontrol pemerintahan. Kudeta merupakan tindakan ilegal).
Pada pembahasan kali ini kami akan mencermati peran Nugroho dan pusat sejarah ABRI dalam menghasilkan terbitan pertaa versi kisah usaha kudeta. Nugroho berhasil menerbitkan buku yang mengidentifikasi kudeta itu sebagai komplotan komunis hanya dalam waktu 40 hari.

Terbitan Pertama Versi Usaha Kudeta
Sebagaimana di kemukakan sebelumnya, Pusat sejarah ABRI sudah beroperasi ketika usaha kudeta terjadi. Dibawah arahan Nugroho, Pusat sejarah ABRI langsung bekerja dengan tujuan untuk segera menerbitkan narasi usaha kudeta versi angkatan darat. Hasilnya ialah “40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November” yang sebagian besar merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan membuktikan bahwa usaha kudeta adalah persekongkolan komunis.
Buku “40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November adalah buku pertama mengenai kudeta yang dikeluarkan di Indonesia, dan merupakan awal sebuah narasi yang berulangkali dikonsolidasikan sepanjang periode rezim Orde Baru.



Terbitan Resmi Kisah Usaha Kudeta dalam bahasa Inggris
Pada tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation California memberitahukan kepada mayor Jendral Suwarto dari Seskoad bahwa ada versi lain tentang usaha kudeta yang disusun oleh ilmuwan di Univeritas Cornell. Versi ini lebih dikenal dengan nama makalah corner (“cornell Paper”). Makalah ini menyimpulkan bahwa usaha kudeta kemungkinan besar merupakan hasil konflik yang parah intra-Angkatan Darat. Sudah tentu makalah ini merupakan tantangan besar bagi rezim orde baru yang baru terbentuk dan tidak hanya menyentuh pemerintah Indonesia yang baru tetapi juga sekutu perang dinginnya, Amerika Serikat.
Telah banyak beredar teori mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam usaha kudeta dan dalam pembunuhan massal yang terjadi sesudahnya. Walaupun bukti-bukti peran mereka tidak banyak. Bagaimanapun dalam kasus Cornell Paper ini pemerintah AS membantu rezim orde baru.

Melestarikan dan Memperingati sumur Lubang Buaya
Michael van Langenberg berpendapat bahwa  kondisi jenazah perwira Angkatan Darat korban kudeta ketika ditemukan merupakan bagian penting dari propaganda awal mengenai kudeta. Jenazah korban kudeta di Jakarta, yang terdiri dari enam jenderal angkatan darat paling senior ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965. Mereka di temukan tertutup sampah dalam sebuah sumur yang tidak dipakai lagi di pangkalan udara halim, di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Lokasi sumur tersebut kemudian terkenal tidak hanya karena liputan pers mengenai penggalian jenazah korbn tetapi juga karena mitologi yang kemudian berkembang. Pada awalnya gambar direkam oleh kru film dan juru kamera. Foto-foto tersebut kemudian di cetak ulang dalam buku teks sejarah dan dalam surat kabar dank lip televise setiap tahun pada hari peringatan 1 Oktober.
Foto Sumur Lubang Buaya. Dalam prasasti tersebut sapat dibaca : Cita-Cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila tidak mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini. Foto ini merupakan salah satu isi dalam penulisan historiografi Indonesia pada masa orde baru.

Setelah bebarapa waktu, di bangun pula komplek museum dan monumen yang luas sekeliling itu. Tahap kedua pengembangan Monumen Pancasila Sakti adalah membangun monumen yang besar. Monumen ini berlatar belakang burung garuda yang besar yang terbuat dari perunggu yang di tempelkan pada dinding pualam putih, dan diberi latar depan berupa patung perunggu tujuh pahlawan angkatan darat berukuran sebesar badan dan tampak hidup. Dasar monument ini di beri relief sejarah. Pusat sejarah ABRI mengatakan bahwa Monumen Pancasila Sakti menggambarkan sebuah tempat historis yang dapat terus menerus berkisah seobyektif mungkin supaya usaha-usaha untuk memalsukan atau memanipulasi data sejarah dapat dicegah atau dihalangi.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgek_zXXRjEDtohXEyEdU5iK7ss3EG_p3kxcnoee49SnKfarBtDFWkRmiM-ngRuBSAprP7BZC8N6xfBw_yalnmw-ACxheczlKNAat7v6Or16AzsxTitZXtEqx6nBqOHi-ahGB9F86eQyKs/s1600/garuda.jpg

Relief pada Dasar monumen
http://www.tempophoto.com/watermark.php?path=data/multimedia/foto/nasional/nasional69/s_RK03090413.jpg Relief ini sama halnya pada terbitan pertama kisah usaha kudeta yang selain menceritakan peristiwa usaha kudeta juga menggambarkan kisah pengantarnya dan penutupnya.
Kesaktian Pancasila
            Saktinya filsafat nasional, Pancasila adalah konsep utama dalam monument di Lubang buaya dan setiap tahun hari peringatannya diselenggarakan di tempat ini.
Dalam keputusan presiden tahun 1967 mengenai tanggal 1 Otober sebagai hari yang perlu dikenang, Soeharto menyatakan bahwa peringatan hari kesaktian pancasila didasari dalil bahwa :
“…Hari 1 Oktober dengan demikian memiliki cirri dan corak yang khusus sebagai suatu hari untuk lebih mempertebal dan meresapkan keyakinan akan kebenaran serta kesaktian pancasila sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dapat mempersatukan seluruh Negara, Bangsa dan rakyat Indonesia”.
`           Walaupun secara umum kata ‘Kesaktian’ dapat diterjemahkan sebagai sacral atau suci, Kata ini sebetulnya mengandung sejumlah arti dan beberapa diantaranya berpengaruh untuk pesan yang ingin disampaikan oleh monument dan hari peringatan tersebut. Secara umum, sakti menyiratkan adanya sifat gaib, suci atau kedewaan dan magis.
            Karena pada tanggal 1 Oktober 1965 adalah hari ketika usaha kudeta dilaksanakan  dan ditumpas, maka nama yang diberikan pada hari peringatannya, Hari kesaktian Pancasila menyiratkan pada hari inilah pancasila diuji dan diancam. Kaum anti komunis memang jelas percaya bahwa golongan komunis tidak mungkin bisa menerima pancasila dan dasar yang paling masuk akal buat keyakinan ini yaitu bahwa golongan komunis akan meninggalkan Pancasila bila mereka mengambil alih kekuasaaan.
            Namun demikian, dalam kisah usaha kudeta versi orde baru yang resmi, Soeharto lah bersama pasukan kostrad yang dihubungkan dengan penyelamatan pancasila. Baik nama monument maupun nama hari peringatannya juga merupakan upaya yang jelas untuk menyejajarkan rezim baru dengan Pancasila.
            Pada hari ulang tahun pertamanya pada tanggal 1 Juni 1967, ketika Soeharto berperan sebagai presiden, Dia membuat pidato yang berisi kata-katanya yang menyatakan :
            “kita mengagungkan Pancasila, Bukan sekedar karena dia ditemukan kembali dan dirumuskan oleh seseorang (baca:Soekarno) dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang bterpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya, juga setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa”
            Pada saat  rezim orde baru berupaya mengaku dirinya sebagai pemilik Pancasila melalui versi resmi kisah usaha kudeta, Nugroho Notosusanto mulai menganggap penyelidikan tentang asal-usul pancasila, yang menjadi sebuah proyek sejarah yang lain yang dirancang untuk melepaskan Soekarno dari kaitannya dengan Pancasila. Dalam tahun 1970-an, Nugroho mulai mengedarkan teorinya bahwa Soekarno hanya seorang dari tiga penggali pancasila dan bahwa hari lahir pancasila yang sebenarnya adalah 18 Agustus 1945, hari ketika pancsila bersana Undang-Undang 1945 secara hokum disahkan, dan bukan 1 Juni 1945, hari ketika Soekarno untuk pertama kali mengumumkan ide pancasila ini.
            Teori Nugroho didasari versi lain yang katanya diubah, yang bersumber pada pidato Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 di depan panitia persiapan kemerdekaan yang muncul dalam publikasi Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang menurut Nugroho berisi konsep-konsep ke-pancasila-an. Pada tahun 1975 sebuah tim investigasi yang terdiri dari 5 orang dan diketuai oleh Mohammad Hatta, wakil presiden pertama, menemukan naskah dalam buku Yamin yang merupakan versi pidato Yamin  pada tahun 1945 yang telah banyak diubah. Waaupun urutan dan redaksinya memang sedikit berubah antara 1 Juni dan 18 Agustus, perbedaan yang angkuh ini dirancang semata-mata untuk tujuan politis melepaskan kaitan Soekarno dengan pancasila.
            Karya Nugroho mengenai asal-usul Pancsila mungkin kasus manipulasi sejarah yang paling mencolok untuk rezim orde Baru.
            Nugroho juga dituduh berusaha mencemarkan citra Soekarno dalam sejarah yang menyangkal perannya sebagi penggali Pancasila, suatu peran yang ingin diambil oleh rezim orde baru. Walaupun kontroversi berputar tentang karya Nugroho, teorinya tetap menjadi bagian dari penataran indoktrinasi pancasila oleh pemerintah, Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan tetap dimasukkan dalam Buku Sejarah Nasional Volume 6. Kementerian Pendidikan juga menjadikan buku Nugroho tentang teori Pancasila bacaan wajib bagi guru Pendidikan Moral Pancasila(PMP) dan sebagai buku acuan untuk melengkapi Seri Sejarah Nasioanal.
            Kemudian yang dapat diambil dari pesan “kesaktian” pancasila seperti yang ada pada bagian-bagian rinci monument pancasila. Tujuh pahlawan angkatan darat yang digambarkan menghadap ke cungkup berdiri dengan sikap badan seakan menuduh, dengan tangan yang mengepal yang mencerminkan percaya diri, kekuatan dan kewaspadaan.
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQwvv9yb9qh6TeM9bZUCg9vI-U7MQpx2ur0tL-eXHCTYiW8FPNojedu_lJz
            Lalu, pada tahun 1980 pengelolaan komplek Monumen Pancasila Sakti dipindah dari Sekretariat Negara ke pusat Sejarah ABRI. Tidak lama kemudian  pusat sejarah ABRI menambah dikomplek itu sebuah museum yang mengisahkan kejadian-kejadian usaha kudeta dan sebuah ruangan benda-benda peninggalan. Pada saat Nugroho mengerjakan museum yang baru ini, Dia juga membantu menciptakan film propaganda epik Pengkhianatan Gerakan 30 September, Sebuah film yang juga mengulang kembali versi resmi kisah usaha kudeta. 

Museum Monumen Pancasila Sakti
            Museum nasional Pancasila sakti terdiri dari diorama, ruang benda peninggalan, dan sebuah teater kecil untuk menonton film documenter tentang peristiwa 1945. Diaroma di museum ini dilengkapi dengan rekaman suara yang dapat didengar oleh pengunjung dengan memasukkan uang logam kedalam kotak kecil disebelah setiap diorama. Museum ini juga memiliki serambi kecil tempat tergantungnya potret tujuh perwira Angkatan Darat korban usaha kudeta : Letnan Jendral A.Yani, Mayor Jendral Suprapto, Mayor Jendral S.Parman, Mayor Jendral M.T. Haryono, Brigadir Jendral D.I Panjaitan, Brigadir Jendral Sutoyo Siswomihardjo dan Letnan Pierre Andreas Tendean.

Pahlawan Revolusi: Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani.jpgPahlawan revolusi: Letjen Anumerta M.T. Haryono.jpgPahlawan Revolusi: Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman.jpg

Pahlawan Revolusi: Kapten Peiere Andreas Tendean.jpgPahlawan Revolusi: Letnan Jenderal Anumerta Suprapto.jpgPahlawan Revolusi: Mayor Jenderal Anumerta Donald Isac Panjaitan.jpgPahlawan Revolusi: Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo.jpg

Ruang benda-benda peninggalan, yang berada disebelah pertunjukan diorama, lebih banyak lagi memberikan sentuhan pribadi pada penderitaan martir Angkatan Darat  dengan memperlihatkan milik pribadi para pahlawan pada saat mereka diculik. Sejarah peringatan dari pusat sejarah ABRI mengatakan bahwa benda-benda tersebut merupakan “…Kesakisan bisu kekejaman G 30 S/PKI yang masih dapat disaksikan misalnya pada pakaian dinas Mayjen TNI S. Parman di bagian perut terdapat beberapa lubang bekas tembakan. Juga pada kain sarung dan kemeja Mayjen TNI suprapto terdapat bercak-bercak darah dan pada jaket Lettu Pierre A. Tendean dibagian perut koyak-koyak akibat tusukan benda tajam”.
http://thearoengbinangproject.com/jakarta/museum-pengkhianatan-pki-15.jpg

Film Penghianatan gerakan 30 September
            Film Pengkhianatan gerakan 30 September  mungkin merupakan gambaran resmi usaha kudeta 1965 yang paling dikenal, karena setelah dikeluarkan pada tahun 1983, film tersebut ditayangkan di TVRI setiap tanggal 30 September sepanjang periode Orde Baru. Tokoh-tokoh kunci yang mengerjakan film ini adalah Nugroho sendiri sebagai penyunting dan yang versinya tenntang kudeta menjadi dasar utama untuk penulisan naskah film, Brigadir Jendral Dwipayana, seorang terpercaya staf kepresidenan yang saat itu menjabat sebagai Direktur perusahaan film nasional, dan sutrada Arifin C.Noer.
Digambarkan dalam sebuah adegan sebelum terjadinya usaha kudeta seorang bocah yang tampak miskin bertanya kepada ibunya yang sedang menangis, “Siapa yang membunuh bapak,  ibu?”. Ibunya menjawab, “Orang Komunis, Mereka Biadab.”
Film Penghianatan Gerakan 30 September menyajijan gambaran yang hidup tentang penyiksaan para jendral. Dalam film, adegan liar di Lubang Buaya mulai dengan menari, api dan yel-yel. Dapat kita saksikan wajah seorang jendral yang berdarah dan tubuh para korban diseret kian kemari. Adegan penyiksaan yang berdarah ini, termsuk penculikan mata dan kerusakan bagian tubuh lainnya yang diiringi musik.


Representasi Penyiksaan
            Baik Film resmi tersebut maupun Museum Pancasila Sakti  menggambarkan penyiksaan secara terang-terangan. Hal ini berbeda dengan gambaran resmi sebelumnya mengenai kudeta termasuk buku 40 Hari Kegagalan “G-30 S” 1 Oktober-10 November versi militer tentang usaha kudeta dalam bahasa Inggris, dan relief pada monument yang hanya menyiratkan secara halus adanya penyiksaan. Tidak satupun  dari dua terbitan ini secara langsung meyajikan kisah mengerikan tentang penyiksaan para pahlawan revolusi sebelum mereka meninggal, juga tidak mengeluarkan pernyataan seram mengenai penculikan mata dan bagian tubuh sebelum mereka meninggal
            Pada tahun 1987, Anderson menerbitkan menerbitkan terjemahan laporan otopsi yang dilakukan atas perintah Soeharto setelah jenazah para pahlawan militer ditemukan dan diangkat dari sumur. Laporan tersebut menyatakan bahwa mata korban tidak di cukil dan bagian tubuh lainnya masih utuh. Walaupun begitu, keluarnya laporan ini tidak menghalangi Pusat Sejarah ABRI untuk, pada tahun 1991, menambah pada komplek monument sebuah gambaran tentang penyiksaan terhadap pahlawan angkatan darat yang lebih mencolok.
http://nanpunya.files.wordpress.com/2009/03/dirama-penyiksaan.jpg?w=510http://www.berita99.com/file_anda/image/Museum%20Pancasila%20Sakti.jpg
Pesan yang diulang-ulang, Persepsi yang bercampur
            Karena selama periode Orde Baru dilaksanakan pengawasan sensor yang ketat, sebagian besar orang Indonesia hanya menerima versi hitam putih yang disederhanakan mengenai masa lalu, yang semata-mata menyajikan stereotip tersebut tadi. Beberapa anak yang pernah menonton film Pengkhianatan Gerakan 30 September atau yang mengetahui tentang “Komunis” dari sekolah ketika mengunjungi monumen pancasila sakti mengangkat tangan mereka seakan-akan memegang senjata, dan bertanya “Diman PKI?” seakan-akan siap untuk menembak. Dalam periode pasca Soeharto, ahli sejarah Taufik Abdullah mengkritik keras gaya penulisan sejarah yang demikian, yang disebutnya sebagai ‘Sejarah untuk menuntuk pembalasan’.

Indonesia Pasca Soeharto Menentang Versi Orde baru tenteng Kudeta
            Terakumulasinya sinisme terhadap representasi resmi usaha Kudeta juga dapat dilihat dari serangan balik pada versi ini setelah Soeharto mengundurkan diri, ketika kebebasan pers memungkinkan pengungkapan pandangan-pandangan yang demikian. Beberapa waktu setelah jatuhnya Soeharto, Letnan Kolonel Latief, seoranng narapidana politik yang dihukum karena keterlibatannya dalam peristiwa usaha kudeta 1965, menyatakan dalam sebuah wawancara pers bahwa semalam sebelum usaha kudeta dia mempperingatkan Soeharto bahwa para Jendral akan diculik. Dia juga menyatakan bahwa Soeharto memilih tidak bertindak sampai kudeta dilakukan. Untuk menanggapi keraguan tentang versi kudeta pemerintah, Preside baru, B.J Habibie menghentikan penayangan film Pengkhianatan Gerakan 30 September.
            Kebanyakan artikel yang ditulis setelah lengsernya Soeharto berpusat pada peran Soeharto dalam usaha Kudeta, dan khusunya berfokus pada versi Latief mengenai usaha kudeta, dan tidak pada peran militer. Beberapa artikel juga membahas teori Ruth McVey dan Benedict Anderson yang menyatakan bahwa kudeta merupakan peristiwa internal militer.

Kesimpulan
            Nugroho Notosusanto merupakan Kepala Pusat penulis utama terbitan pertama versi kisah usaha kudeta. 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November penting karena buku ini mengkonsolidasi propaganda Angkatan Darat mengenai Kudeta dan menyajikan laporan yang kronologis mengenai keterlibatan PKI. Buku ini juga menjadi dasar versi resmi Orde Baru tentang kisah usaha kudeta untuk 30 tahun selanjutnya.
            Kemudian, Usaha mempertahankan legitimasi ini untuk dunia luar dilakukan melalui versi kisah usaha kudeta  dalam bahasa inggris, di tulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh dengan bantuan Pemerintah Amerika Serikat, sebagai tanggapan terhadap munculnya Cornell Paper. Gambaran mengenai usaha kudeta menceritakan jauh lebih banyak tentang rezim Orde Baru daripada mengenai kudeta itu sendiri.
            Lalu, relief  di bawah monument pancasila sakti menceritakan perjalanan menuju krisis nasional di bwah pmpinan Soekarno dan pengaruh komunis yang tidak bermoral, kemudian beralih ke pemulihan keterlibatan dan moralitas di bawah Soeharto.
            Begitu pula museum di komplek monument pancasila sakti, Film Pengkhianatan Gerakan 30 September dan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila dengan cara yang sama mengulang tema pengkhianatan komunis, penderitaan martir Angkatan Darat dan peran Angkatan Darat dalam melindungi Pancasila.
            Terakhir, dapat kita ambil sebuah tulisan, bahwa Usaha Kudeta merupakan episode sejarah pertama yang mendapat perhatian cermat dari Nugroho Notosusanto dan Pusat Sejarah ABRI. Dalam waktu singkat pusat sejarah ABRI melihat ke peristiwa-peristiwa sejarah lainnya untuk meningkatkan peran militer dalam sejarah Indonesia dan untuk mengukuhkan persatuan dan nila-nilai militer.



MAKALAH PERGERAKAN WANITA DI MASA PERGERAKAN NASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Saat bangsa ini terus merintis kemajuannya demi meningkatkan martabat di mata bangsa lain, kepingan sejarah yang diciptakan oleh orang-orang berani dan bermisi kuat pun terus bertambah. Jika kita mau menelurusi kepingan-kepingan sejarah tersebut, maka jangan terkejut jika kita banyak menemukan peran wanita di dalamnya.
Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, kiprah perempuan Indonesia yang mengambil bagian dalam memajukan berbagai bidang kehidupan tidak bisa dilupakan begitu saja. Perempuan adalah bagian yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Pada saat krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Namun dalam keadaan yang kritis, tak jarang pula perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga hingga meluas ke perekonomian masyarakat.
Dilihat dari lembaran sejarah perjuangan bangsa, gerakan kebangkitan nasional berawal dari politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mengecap pendidikan di sekolah. Sebenarnya maksud dari politik pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk menghasilkan pekerja seperti buruh-buruh yang terdidik, guru-guru, birokrat rendahan, serta dokter-dokter yang bisa menangani penyakit kaum pribumi. Dengan demikian mereka bisa menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. Namun ternyata politik ini memberi manfaat tersendiri bagi pemuda Indonesia. Pencerahan dalam dunia pendidikan yang mereka dapatkan menuntut jiwa muda mereka untuk mulai bergerak memperjuangkan kebangkitan bangsa ini untuk menuju kemerdekaan nantinya. Hingga tahun 1908 berdirilah organisasi Budi Utomo yang menjadi titik kebangkitan nasional. Sebenarnya jauh sebelum Budi Utomo dikukuhkan, telah lahir nama-nama pejuang perempuan yang ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan Laksamana Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan memimpin armada yang terdiri atas 2.000 prajurit perempuan. Selain Malahayati, kita kenal juga Martha Christina Tiahahu (1801-1818), Cut Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan anaknya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang wanita di sana.
Memasuki era perjuangan perempuan tanpa senjata, lahirlah seorang pejuang perempuan bernama R.A. Kartini (1879-1904) yang berjuang dalam memajukan pendidikan bagi kaum perempuan. Beliau menggugah kesadaran masyarakat pada saat itu dengan mengganti pola pikir keliru yang menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu mengecap pendidikan, dengan pola pikir kemajuan yang menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan pendidikan di sekolah. Tidak hanya si Sekolah Rendah, melainkan harus dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, seperti halnya kaum laki-laki.
Tentu saja, tidak hanya Kartini yang berjuang dalam meningkatkan taraf hidup kaum perempuan. Ada banyak perempuan yang tersebar di Nusantara yang juga menjadi pejuang kaum perempuan untuk menjadi lebih baik dan maju. Sejarah mencatat beberapa nama seperti Rohana Kudus yang menaikkan nama perempuan di kalangan jurnalis Indonesia, Rasuna Said yang menjadi perempuan pertama yang ditangkap kemudian dipenjara karena pidatonya yang mengecam tajam ketidakadilan pemerintah Belanda pada tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga Ny. Dahlan yang membangun kajian ta’lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di kawasan pondok-pondok.
Untuk mewujudkan cita-cita peningkatan kualitas pendidikan di kalangan perempuan, maka kekuatan masapun dirasa perlu. Oleh karena itu pejuang perempuan pada masa itu membentuk suatu organisasi perempuan yang akan mewadahi cita-cita mereka. Berawal dari Putri Mardika, sebuah organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912, organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai daerah. Menjamurnya organisasi perempuan di negeri ini memunculkan gagasan untuk menyatukan pikiran dalam sebuah pertemuan akbar, dan dengan usaha kuat di tengah-tengah masa jajahan akhirnya berhasil diadakan Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).
Dari untaian sejarah yang mengagumkan, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya Nusantara yang luas seakan sempit ketika perjuangan tak mengenal batas. Di masa jajahan penuh kekangan ditambah dengan teknologi komunikasi yang jauh lebih sederhana dari sekarang ini, pejuang perempuan pada masa itu bisa dengan sukses mengumpulkan puluhan organisasi perempuan yang tersebar di Nusantara dalam satu kongres besar. Ternyata benar adanya, pejuang dan pemimpin yang lahir dari zona ‘tidak aman’ akan tumbuh kuat dan tangguh.


Timbulnya pergerakan wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini yang memperjuangkan perbaikan kedudukan social wanita. Pada awal pergerakan wanita soal-soal politik belum menjadi perhatiannya, sedangkan yang mendesak untuk dipecahkan bagi mereka adalah perbaikan dalam hidup keluarga, perkawinan, dan mempertinggi kecakapan sebagai seorang wanita.
Awalnya Kartini hanya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan laki-laki. Wanita pada saat itu memang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di dapur, sumur dan kasur. Wanita tidak boleh mengenyam pendidikan seperti yang dapat dinikmati oleh laki-laki. Sehingga wanita sangat tertinggal jauh dari laki-laki dalam pendidikan dan wawasan. Akhirnya timbul tekad Kartini untuk memperjuangkan hak-hak wanita agar mampu menyamakan derajatnya dengan laki-laki.
Setelah perjuangan Kartini yang membuka sekolah untuk perempuan, perjuangannya diteruskan oleh Dewi Sartika yang mendirikan organisasi Putri Merdika. Organisasi tersebut bertujuan untuk memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Dan timbul organisasi-organisasi di beberapa daerah dengan idiologi yang diusung masing-masing organisasi. Pergerakan organisasi-organisasi wanita tersebut memberikan sumbangan yang besar terhadap perjuangan pergerakan nasional.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa saja organisasi pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional?
b.      Bagaimanakah isi Kongres Perempuan dan apa tujuannya?

C.    Tujuan
a.       Mengetahui apa saja pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional.
b.      Memahami isi Kongres Perempuan dan tujuannya.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Organisasi Pergerakan Wanita
Awal mula adanya perjuangan yang dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A. kartini. Beliau sangat prihatin dengan keadaan wanita pada masa itu yang dikekang dengan tradisi dan diperlakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu beliau mempunyai suatu gagasan kepada wanita untuk memajukan pendidikannya. Dengan pendidikan wanita akan mendapatkan suatu pengajaran agar mampu hidup mandiri dan terhormat. Usaha Kartini adalah membuka sekolah bagi anak-anak perempuan di pekarangan rumahnya. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di Kautaman Istri pada tahun 1904. Beliau juga membuka cabang sekolah Kautaman Istri di berbagai daerah.
Mendapatkan pendidikan bagi wanita memberikan dampak yang positif, karena mereka menjadi peka terhadap masalah yang dihadapinya. Sehingga memberikan kesadaran bahwa untuk  mengumpulkan pemikiran-pemikiran wanita juga diperlukan sutu wadah untuk menampungnya. Selain itu juga diperlukan suatu kerjasama yang lebih luas lagi. Sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi wanita.
Organisasi wanita yang muncul berdiri sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan ketrampilan.Dengan demikian organisasi-organisasi perempuan yang berdiri sebelum tahun 1928 masih berkutat pada masalah domestik yang dihadapi oleh perempuan.
Pada tahun 1912, atas usaha Budi Utomo berdirilah organisasi Putri Merdika di Jakarta yang bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Organisasi Kautaman Istri berdiri di beberapa tempat: di Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). Latihan untuk memajukan kecakapan wanita, khusunya kecakapan rumah tangga dikelola oleh perkumpulan Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jeporo (1915). Organisasi ini bertujuan mempererat persaudaraan antara kaum ibu.
Sedangkan dalam Jurnal milik Yuliati bahwa organisasi yang berturut-turut muncul adalah “Pawiyatan Wanito” di Magelang (1915), PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurun) di Manado (1917), “Purborini” di Tegal (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang (1918), “Wanito Hadi” di Jepara (1919), “Wanito Utomo” dan “Wanita Mulya”  di Yogyakarta (1920), sedang Bukittinggi adalah “Serikat Kaum Ibu Sumatera” (1920). Setelah tahun 1912, mulai banyak muncul organisasi perempuan yang bersifat keagamaan seperti “Sopo Tresno” (1914) yang merupakan embrio Aisyah. “Sarikat Siti Fatimah” di Garut sebagai bagian dari Sarikat Islam, yang tahun 1925 menjadi Sarikat Putri Islam, menyusul “Aisyah” (1917) yang merupakan seksi perempuan Muhammadiyah di Yogyakarta. Demikian juga organisasi-organisasi perempuan yang berlatar Belakang agama Protestan dan Katholik berdiri tahun 1924. Di luar Pulau Jawa, muncul pula organisasi serupa seperti di Minangkabau, Maluku, dan Minahasa.
Setelah tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat  bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita bertambah banyak, setiap organisasi politik mempunyai bagian wanita, misalnya Wanudyo Utomo bagian dari Sarekat Islam, kemudian menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia.
Bagian wanita Muhammadiyah adalah Aisyiyah yang tidak mencampuri politik. Dalam hal poligami, organisasi ini juga menolaknya. Pada tahun 1929 organisasi ini mempunyai anggota sekitar 5000 dari 47 cabang dan mempunyai 32 sekolah putri. Ina Tuni, bagian wanita Sarekat Ambon, membantu Sarekat Ambon, khususnya di kalangan anggota militer Ambon yang berhalauan politik. Di Yogyakarta, tempat wanita terpelajar, terdapat beberapa organisasi wanita yang tidak hanya belajar kepandaian khas wanita tetapi mempunyai tujuan tertentu, diantaranya Wanito Utomo, Wanito Mulyo, Wanito Katholik, dan berdiri Putri Budi Sejati di Surabanya. Semua organisasi di atas berdiri kiran-kira pada tahun 1920.  

B.     Kongres Perempuan
Pada 1930-an hampir seluruh perempuan Indonesia tidak dapat membaca dan menulis. Oleh sebab itu selama kongres 1935, kaum perempuan memutuskan berjuang bersama melawan buta huruf. Dua puluh tahun kemudian Kementerian Pendidikan NasionaL RI (Republik Indonesia) dibantu beberapa organisasi perempuan yang secara aktif memberikan bantuannya bertekad mengatasi masalah itu. Di samping perjuangan yang panjang dalam memberantas buta huruf, Kementerian Pendidikan juga terus melanjutkan program pendidikan dasar dan meningkatkan jumlah guru.
Pergerakan perempuan di Indonesia hanya memiliki sedikit peluang untuk berkembang pada masa pendudukan Jepang. Satu-satunya organisasi yang diijinkan berjalan adalah Fujinkai (perkumpulan perempuan). Perkumpulan ini ditujukan untuk memerangi buta huruf, menjalankan dapur umum, dan ikut serta dalam pekerjaan sosial. Melalui aktivitas tersebut kaum perempuan Indonesia yang berasal dari kelas atas dan menengah dapat bergaul lebih dekat dengan kaum perempuan kelas bawah sekaligus menciptakan ikatan yang kuat diantara mereka. Mereka bersatu untuk membantu para pejuang kemerdekaan di garis depan. Palang Merah Indonesia juga dibentuk segera setelah proklamasi kemerdekaan.
Kaum perempuan mengorganisisr diri membentuk tim perawat dan penghubung, menjalankan dapur umum, dan klinik berjalan. Perkumpulan perempuan yang populer pada masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia). Atas inisiatif Perwani cabang Yogyakartayang dipimpin nyonya D.D Susanto, kongres pertama perempuan setelah proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari 15 sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan Nyonya Kartowiyono.
Pertemuan selanjutnya yang diadakan di Solo dari 24 sampai 26 Februari 1946 memutuskan untuk membuat satu organisasi tetap bernama Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang terdiri dari Perwari dan PII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia dari protestan dan seksi perempuan partai Katolik Indonesia. Kowani mempunyai hak kuasa untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan yang berada di dalamnya.
Kongres ke-2 Perempuan Indonesia setelah perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Merekla akan membentuk dapur umum dan berjuang dan berjuang di garis depan, dan menangani segala aktivitas semacam ini.
Kongres Ke-3 Kowani diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.
Sepanjang malam 18 Desember 1948 pasukan Belanda melancarkan serangan mendadak terhadap Indonesia. Yogyakarta sebagai ibukota negara dibuat terkejut dan banyak anggota pemerintahan Indonesia ditahan. Serangan ini memberi efek buruk terhadap perkembangan gerakan perempuan. Komunikasi antrar perkumpulan perempuian terancam putus. Tetapi berkat insiatif dan tekad yang kuat, Kowani tetap menyelenggarakan konferensi di tengah situasi sulit itu. Konferensi berlangsung di Yogyakarta dari 26 Agustus- 2 September 1949. Konferensi ini menghasilkan :

a.       Di bidang hukum:
Konstitusi Republik harus menegaskan secara positif kesetaraan secara hukum dan politik bagi seluruh penduduk lelaki dan perempuan dan hak setiap penduduk untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Undang-undang perburuhan harus melindungi para pekerja secara umum dan perempuan secara khusus.
b.      Di bidang sosial
Kesehatan masyarakat harus diperhatikan bantuan kantor konsultasi, poliklinik, dan institusi bagi perempuan usia lanjut yang diabaikan keluarganya.
c.       Di bidang ekonomi
Koperasi masyarakat harus dibentuk.
d.      Di bidang pendidikan
Bura huruf harus diberantas dan memberikan beasiswa kepada anak perempuan.
Suatu komite untuk merayakan ulang tahun ke-25 pergerakan perempuan dibentuk pada 1953 dibawah kepemimpinan Mangonsarkoro. Komite ini bertanggung jawab dalm proses penyuntingan buku peringatan peristiwa tersebut dan diberi pertanggung jawab mengurus yayasan hari ibu. Nama yayasan ini dipilih karena kongres 1928 memutuskan bahwa hari ibu seterusnya akan dirayakan setiap tahun untuk mengenang peristiowa pembukaan kongres pertama perempuan pada 22 Desember 1928.
Yayasan hari ibu merencanakan mendirikan pusat kegiatan bagi kaum perempuan di Yogyakarta yang diberi nama Gedung Persatuan Wanita Indonesia untuk mengenang kongres pertama perempuan di kota itu.

















BAB III
KESIMPULAN

Organisasi wanita yang muncul sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan ketrampilan.
Awal mula adanya perjuangan yang dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A. kartini. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di Kautaman Istri pada tahun 1904 dan membuka cabang sekolah Kautaman Istri di berbagai daerah. Setelah tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat  bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita pun semakin bertambah banyak.
Kongres pertama perempuan setelah proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari 15 sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan Nyonya Kartowiyono. Kongres ke-2 Perempuan Indonesia setelah perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Kongres Ke-3 Kowani diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

1.       Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
2.      Suhartono. 2004. Sejarah Pergerakan Nasional.  Jakarta : Pustaka Pelajar.
3.      Kowani dalam yuliati, 2010, Organisasi Perempuan dan Perjuangan Nasional Abad ke-20, diunduh dari fis.um.ac.id/blog/2010/09/06/organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-abad-ke-20/ pada tanggal 23 September 2012.